Tuesday, December 24, 2013

Fanfic Harvest Moon DS - Finding Harvest Sprites (Chapter 1)

Hi, namaku Jack. Aku seorang petani dan peternak. Aku tinggal di sebelah rumah Takakura. Aku punya anjing serta kucing, ayam, sapi dan domba. Aku juga selalu menanam tanaman setiap bulannya dan tidak lupa menjual barang untuk mendapatkan uang untuk mencukupi kebutuhan hidupku. Setiap hari, aku juga menyapa orang-orang dan memberi bunga ke semua perempuan di kotaku. Aku juga mengunjungi semua tempat di kotaku. Dan, setiap hari juga, aku berusaha untuk menyelesaikan misi menemukan 60 Harvest Sprites yang tersebar di mana-mana. Aku harus menemukan mereka semua untuk mengembalikan Harvest Goddess dari batu. Pada saat itu Witch Princess mengucapkan mantra yang salah dan tidak sengaja membuat Harvest Goddess berubah menjadi batu. Nah, tugasku, harus mengembalikannya.

Dari 60 Harvest Sprites yang akan kucari, aku sudah mendapatkan 3 Harvest Sprites. Yaitu Guts, Neptune, dan Mercury. Mereka kutemukan pada saat bagian Witch Princess dan Harvest Goddess. Nah, sisa Harvest Sprites yang belum kutemukan tinggal 57.

Aku tidak bisa menemukan 57 Harvest Sprites sendirian. Aku butuh teman. Apakah aku harus meminta bantuan kepada Gotz? Dia kuat dan bisa membantuku mencari Harvest Sprites. Tapi, dia sibuk dengan membangun rumah atau membetulkan sesuatu. Sepertinya dia tidak bisa kalau kuajak. Hm.. kalau semua laki-laki di kota? Kecuali bapak-bapak dan kakek, aku tahu. Sepertinya tidak. Aku kurang dekat dengan mereka. Siapa ya?

Ah! Bagaimana kalau kelima perempuan itu?
Celia, Flora, Lumina, Muffy, dan Nami.
Ya! Aku sangat dekat dengan mereka, dan aku bisa meminta bantuan mereka. Dan kuyakin, mereka pasti mau membantuku mencari. Mereka juga tidak terlalu sibuk dengan kerjaan mereka. Selalu ada seorang laki-laki kan disamping mereka pada saat mereka bekerja? Baiklah, aku akan meminta kepada mereka!



Aku melihat jam yang melingkari pergelangan tanganku. Masih jam dua belas siang. Berarti, masih ada waktu untuk pergi mencari kelima perempuan itu. Siapa yang akan kuminta duluan?

Bagaimana kalau Celia?
Pilihan yang bagus.

Aku pergi ke ladang tempat Celia bekerja. Yap, ada Celia di sana sedang mengelilingi lobak bersama Marlin. Aku menghampiri mereka.

“Siang Celia, Marlin!” sapaku.

“Hai, Jack,” balas Celia sambil memamerkan senyumnya.

“Siang Jack. Ada apa?” ucap Marlin langsung.

“Aku boleh meminjam Celia sebentar?” tanyaku. Marlin mengangguk.

Aku menarik Celia ke depan rumahnya dan mulai berbicara.

“Begini, Celia. Aku ada misi untuk menemukan 60 Harvest Sprites untuk mengembalikan Harvest Goddess dari tubuhnya yang membatu. Aku sudah menemukan 3 Harvest Sprites di awal. Nah, aku mau meminta bantuanmu untuk mencari 9 Harvest Sprites lain yang masih bersembunyi. Kau mau kan membantuku?” jelasku to the point.

“Ya, tentu saja aku mau membantumu,” jawab Celia. “Kapan kita akan mencari Harvest Sprites?”

“Bagaimana kalau besok?” tanyaku. “Kau besok sibuk?”

“Tugasku tidak terlalu berat. Marlin pasti mau mengerjakan tugasku. Tenang saja,” balas Celia.

“Oke, besok kutunggu di jembatan jam delapan ya,” kataku sambil meninggalkannya. Celia mengangguk dan melanjutkan pekerjaannya.

Satu orang sudah bersedia untuk membantuku. Selanjutnya, aku harus minta kepada siapa? Ah iya, Flora saja.



Aku pergi ke gua setelah dari ladang Celia. Aku masuk ke gua dan menemukan Flora dan Carter sedang melakukan kegiatan mereka di gua setiap hari. Aku langsung menghampiri Flora.

“Hai, Flora!” sapaku.

“Oh, Jack. Hai~” balas Flora.

“Aku boleh bicara sebentar denganmu?” tanyaku langsung.

“Boleh kok~ aku bilang ke Carter dulu ya~” ucap Flora dan berteriak kepada Carter. “Carter! Sebentar ya! Aku ada urusan sebentar dengan Jack!”

“Wah? Ada Jack? Siang Jack!” seru Carter. “Ya, silakan Flora.”

“Siang, Carter,” balasku dan langsung menarik Flora ke sudut gua.

“Ada apa Jack~?” tanya Flora.

“Oh, sebelumnya..” aku mengeluarkan kentang dari dalam tas. “Ini untukmu.”

Flora menerima kentang pemberianku dengan muka senang. “Eh ehehehe~ Aku suka ini kau tahu~ Terima kasih~”

“Sama-sama,” balasku. “Jadi, begini...”

Flora mendekatkan wajahnya kepadaku dan mendengarkan penjelasanku.

“Aku ada misi untuk menemukan 60 Harvest Sprites untuk mengembalikan Harvest Goddess dari tubuhnya yang menjadi batu. Aku sudah menemukan 3 Harvest Sprites, dan 9 Harvest Sprites lain akan dibantu Celia. Nah, aku mau kau membantuku mencari 12 Harvest Sprites lainnya. Kau mau tidak membantuku?” jelasku.

“Mencari Harvest Sprites ya~?” kata Flora sambil menampakkan wajah berpikir. Tak lama ia berkata, “ya, tentu saja aku mau membantumu~”

“Terima kasih  Flora!” ujarku senang. “Besok aku ada janji dengan Celia. Bagaimana kalau lusa? Pada hari Rabu? Kau bisa kan?”

“Oh ya, aku bisa~” jawab Flora.

“Kalau begitu, hari Rabu pada jam sembilan aku tunggu di jembatan ya,” kataku dan bersiap untuk meninggalkan gua.

“Ya~” jawab Flora.

Yap. Dua orang sudah bersedia untuk membantuku. Selanjutnya... aku akan minta kepada Lumina.



Aku keluar dari gua dan berlari menuju rumah Lumina. Orang paling kaya di kota, jadi pasti rumahnya sangat besar dan paling besar di kota. Rumahnya bersampingan dengan rumah Witch Princess. Aku memasuki rumah Lumina dan mendapati Lumina sedang bermain piano yang ditonton oleh neneknya, atau Romana, dan anak kecil bernama Kate.

“Hai semuanya!” sapaku dan mendekati Lumina, Romana, dan Kate.

“Ah, Jack. Selamat datang,” balas Romana.

“Hai Jack,” balas Lumina pula dan menghentikan permainan pianonya.

“Hi!” seru Kate sambil tersenyum.

“Maaf ya mengganggu kalian. Tapi, aku mau pinjam Lumina sebentar. Boleh?” kataku meminta izin. Romana dan Kate mengangguk dan Lumina mengikutiku sampai di depan pintu masuk.

“Ada apa sih?” tanya Lumina.

“Begini Lumina, aku ada misi untuk menemukan 60 Harvest Sprites untuk mengembalikan Harvest Goddess dari tubuhnya yang membatu. Aku sudah menemukan 3 Harvest Sprites, dan 21 lainnya akan dibantu Celia dan Flora. Nah, aku mau kau membantuku untuk mencari 12 Harvest Sprites lain. Kau mau kan membantuku?” jelasku.

Lumina mengangguk-angguk. Lalu ia menjawab, “ya, aku sangat ingin membantumu Jack. Tapi, aku belum bisa membuat janji hari ini... eh iya, kapan kau akan mencarinya?”

“Kalau dengan Celia, besok. Kalau dengan Flora, hari Rabu lusa. Kalau kau bisa, mungkin kita akan mencarinya hari Kamis,” jawabku.

“Ooh.. Kalau begitu, saat hari Rabu pada jam tujuh malam, aku akan ke rumahmu dan mengatakan apakah aku bisa atau tidak. Tidak apa-apa kan?” ujar Lumina.

“Ya, tidak apa-apa,” balasku. “Kalau kau bisa, hari Kamis aku akan menunggu di jembatan pada jam delapan pagi.”

“Okeee,” kata Lumina.

“Aku balik ya,” jawabku sambil keluar dari rumah Lumina.

Yah, semoga saja Lumina bisa membantuku. Oke, selanjutnya... aku akan minta kepada Muffy.



Aku berlari dari rumah Lumina menuju bar. Saat aku memasuki bar, aku melihat Muffy dan Griffin sedang berdiri di belakang counter menunggu pelanggan. Aku menghampiri mereka.

“Hai, Muffy, Griffin!” sapaku.

“ Jack! Halooo!” balas Muffy sambil memamerkan senyumnya.

“Oh, Jack. Mau membeli sesuatu?” tanya Griffin.

“Maaf, Griffin. Aku datang ke sini mau meminjam Muffy sebentar. Tapi lain kali aku akan membeli makanan di sini. Aku janji,” kataku. Lalu aku memanggil Muffy dan membawanya ke depan pintu masuk bar.

“Ada apa Jack? Apa yang kau inginkan?” tanya Muffy riang seperti biasanya.

“Aku mau menjelaskan sesuatu,” kataku. “Begini, jadi aku ada misi untuk mencari 60 Harvest Sprites untuk mengembalikan Harvest Goddess dari tubuhnya yang membatu. 3 Harvest Goddess sudah kutemukan di awal. 33 Harvest Sprites yang lain akan dibantu Celia, Flora, dan Lumina. Nah, kau mau tidak membantuku mencari 12 Harvest Sprites lain yang masih bersembunyi?” jelasku.

Muffy langsung menjawab dengan muka riang, “ya ya! Tentu saja aku mau, Jack! Kapan kita akan mencari 12 Harvest Sprites ituu?”
“Hari Jumat besok. Aku tunggu di jembatan pada jam delapan. Bisa kan?” jawabku.

“Yap! Aku bisa!” balas Muffy.

“Oke Muffy. Makasih. Aku balik,” kataku sambil keluar dari bar.

Satu orang lagi. Tinggal Nami.



Aku berlari dari bar menuju penginapan. Tidak memerlukan waktu lama karena bar dan penginapan bersebelahan, hanya dibatasi dengan jalan.

Di penginapan, aku menemukan Ruby yang sedang berdiri di belakang counter. Sedangkan Nami sedang melihat lukisan, seperti biasa.

“Hai Ruby, hai Nami!” sapaku kepada mereka.

“Hai Jack! Apa kabar?” balas Ruby.

“Baik,” jawabku. Lalu aku menghampiri Nami.

“Hai Nami,” tegurku.

“Oh, hai.”

“Nami, aku mau bicara sebentar denganmu. Boleh?” tanyaku langsung. Nami mengangguk dengan muka datar seperti biasa.

“Apa?” tanya Nami.

“Begini, aku ada misi untuk mencari 60 Harvest Sprites untuk mengembalikan Harvest Goddess dari tubuhnya yang membatu. Aku sudah menemukan 3 Harvest Sprites di awal. 45 Harvest Sprites yang lain akan dibantu oleh Celia, Flora, Lumina, dan Muffy. Jadi, kau mau tidak membantuku mencari 12 Harvest Sprites sisanya?” jelasku.

“Oh, ya. Kapan?” jawab Nami.

“Hari Sabtu besok ya. Aku tunggu di jembatan jam delapan pagi,” balasku.

“Ya.”

“Oh ya, sebelum aku balik,” ujarku sambil mengeluarkan Grape Juice dari dalam tas. “Ini untukmu.”

“Kau dermawan. Terima kasih..” kata Nami sambil menerima Grape Juice pemberianku dan tersenyum.

“Sama-sama,” jawabku. “Baik, aku balik ya.”

Nami mengangguk dan kembali melihat lukisan. Aku keluar dari penginapan dan berlari menuju rumah. Lebih baik aku istirahat untuk mengisi energi agar besok aku bisa mencari 9 Harvest Sprites dengan maksimal bersama Celia.

END

Kalo mau baca fanfictionnya di fanfiction.net, buka aja nih --> https://www.fanfiction.net/s/9940522/1/Finding-Harvest-Sprites . Jangan lupa di review ya .w. Oh iya, sekalian baca ceritaku yang lainnya, buka ini nih --> https://www.fanfiction.net/~rikakochan
Arigatou~ :3 /numpangpromosi

Tuesday, November 19, 2013

Fanfic Vocaloid - The Secret Gift

Rin mengobrak-abrik tasnya. Mana diary itu? pikir Rin. Ia terus mencari sampai tidak mendengar suara ketukan pintu kamarnya, yang diketuk oleh kembarannya, Len.

"Woy Rin! Kamu di dalem? Buka pintunya dong!" seru Len dari luar. Tetapi Rin tidak mendengar seruan Len dan masih serius mencari diarynya yang katanya hilang itu.

*

Len berhenti tepat di depan pintu berwarna cokelat tua yang dihiasi tulisan "Rin's Room. You all, do not excuse" dengan tulisan besar-besar. Len tahu, ia pasti akan diusir jika ia menerobos masuk. Walaupun ia menggunakan cara sopan, Rin juga mungkin tidak akan mengizinkannya masuk.

Tapi, dengan kunjungan pertamanya ke kamar Rin, Len tidak bermaksud untuk mengganggunya. Ia hanya ingin mengembalikan sebuah buku tebal dihiasi pita berwarna oranye dan bertuliskan "Diary" dengan huruf sambung. Len sudah bisa menebak bahwa buku itu punya Rin. Karena di rumah ini, hanya Rin yang memiliki buku diary dan mereka hanya tinggal berdua.

Len mengetuk pintu tiga kali sambil berteriak. Tapi Rin tidak menyahutnya. Ia tahu, Rin ada di dalam karena terdengar suara berisik di dalam kamar Rin. Len berteriak sekali lagi dengan suara yang menurutnya sudah sangat keras.

"RIN! BUKAIN PINTU!"

*

Rin melempar tasnya. Ia mendengar suara dari luar kamarnya, yang sepertinya tepat di depan pintu kamarnya. Rin membuka pintu dan mendapati Len yang sedang duduk di bawah.

"Ngapain kamu Len? Duduk di bawah begitu...." tanya Rin heran.

Len berdiri dan menyerahkan buku yang sedari tadi dipegangnya. "Nih. Diary kamu."

Rin menerima buku itu dengan mata terbelalak, "hah?! Nemu di mana Len? Aku nyari diary ini daritadi! Oh, jangan-jangan...."

"Jangan asal nuduh dong! Aku nemu di meja tamu. Awalnya mau kukasih ke kamu langsung, cuma kamu langsung ke kamar dan ngunci kamar. Ya udah deh, sempetnya sekarang," jelas Len. Rin mengangguk-angguk tanda paham.

"Ooh, iya iya. Thanks ya Len!" seru Rin dan masuk ke kamarnya kembali sambil menutup pintu. Rin duduk di tempat tidur sambil membuka-buka diarynya.

Eh, tunggu.. pikir Rin, Len baca diary aku gak? Kalo baca......

Rin mulai panik dengan pikirannya itu. Bisa gawat kalo Len mengetahui isi diarynya!

*

Len kembali ke kamar dan duduk di kursi. Ia menidurkan kepalanya di atas meja sambil berpikir, oh, gitu ya... Jadi Rin sahabatan sama Kaito. Oke fine..

Sudah malas, Len mengunci kamarnya, mematikan lampu, dan ke tempat tidur. Tak lama kemudian, Len sudah terlelap.

*

Esoknya, Rin dan Len berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Hanya dua puluh menit, mereka sudah sampai di sekolah. Selama di perjalanan, Rin dan Len sama sekali tidak berbicara, tidak seperti biasanya.

Saat Len sudah masuk kelas, Rin berlari ke kelas Kaito. Kaito yang melihat Rin sedang menunggu di luar langsung menghampirinya.

"Hai Rin," sapa Kaito.

"Hai," balas Rin. "Eh Kaito, nih diarynya."

"Oh, oke." Kaito menerima dairy yang diberi Rin dan membacanya. "Gaada yang baca diary ini kan?"

Rin menjawab dengan sedikit takut, "se-sepertinya gaada..."

"Bagus deh," kata Kaito sambil menutup diary. "Kalo ada yang tau, bisa gawat nih."

"Iya, bener," jawab Rin sambil menganggukkan kepalanya.

"Ya udah deh," ujar Kaito, "aku bakal balikin diarynya besok. Tapi, jangan lupa dibales yaa..."

"Iyaaa," jawab Rin. "Udah, ya. Aku ke kelas. Dadaah!"

"Daah."

Rin segera pergi ke kelasnya yang sama dengan Len.

*

Len mengikuti Rin dan bersembunyi di samping loker sepatu yang kebetulan lokasinya dekat dengan Rin yang sedang mengobrol dengan Kaito. Sesekali Len melongokkan kepalanya untuk melihat situasi.

"Gaada yang baca diary ini kan?"

Len mendengar Kaito bertanya kepada Rin. Rin belum menjawab. Len membatin dalam hati, satu orang sudah membacanya sayangnya.

Dan Len mendengar suara Rin yang terdengar takut, "se-sepertinya gaada..."

"Bagus deh."

Suara Kaito muncul lagi.

"Kalo ada yang tau, bisa gawat nih."

"Iya, bener."

"Ya udah deh. Aku bakal balikin diarynya besok. Tapi, jangan lupa dibales yaa..."

"Iyaaa." suara Rin lagi. "Udah, ya. Aku ke kelas. Dadaah!"

"Daah."

Saat melihat bahwa Rin berpisah dengan Kaito, Len dengan cepat berlari ke kelas untuk menghindari kecurigaan Rin. Len berpura-pura sedang menulis sesuatu saat melihat Rin masuk kelas dan duduk di sampingnya.

 *

"Miku!"

Miku menoleh dan melihat Rin serta Kaito berlari mengejarnya.

"Ada apa?" tanya Miku.

"Kita mau ngasih tau sesuatu, tapi...." Rin melanjutkan, "jangan kasih tau siapa-siapa."

"Okee," ujar Miku. "Tentang apa emang?"

Rin dan Kaito berkata sesuatu kepada Miku. Miku hanya mengangguk-angguk.

*

Len masuk ke rumah. Ia melihat Rin sedang duduk di kursi tamu sambil tersenyum-senyum tidak jelas dan sedang menulis sesuatu di sebuah buku.

"Rin, kamu kenapa?" tanya Len. "Senyum-senyum sendiri begitu."

"Oh, gapapa," jawab Rin. Len mengangkat satu alisnya dan segera naik ke atas untuk ke kamarnya dan mengunci dirinya. Len benar-benar tidak curiga, karena mungkin Rin tersenyum membaca tulisannya sendiri. Bisa saja, kan?

*

Setelah memastikan bahwa Len sudah tidak ada, Rin mengambil hpnya.

Rin: Udah siap nih. Kalian berdua udah siap belom?

Miku: Udah, Rin~

Kaito: Udah.

Rin: Ya udah. Aku pancing dulu ya. Nanti kalo udah, aku bilang ke kalian.

Kaito: sip.

Miku: Okee.

*

Len masuk ke kamarnya. Saat membuka pintu, ia melihat sebuah kertas ada di dekat pintu. Saat Len mencoba untuk mengambilnya, kertas itu menjauh menuju tangga. Kertas apaan tuh? pikir Len. Karena penasaran, Len mengambil kertas itu dan kertas menjauh kembali. Len mengejar kertas itu karena melihat bahwa kertas itu adalah kertas yang berisi tugasnya!

Sampai di bawah, kertas itu tetap tidak mau berhenti sampai berhenti di depan pintu rumah. Saat Len mau mengambilnya, kertas itu menjauh lagi dan telah keluar dari rumah. Len pun membuka pintu, dan tiba-tiba....

"SELAMAAAATTTTT LEEENNNNN!!!"

Len melongo saat mendapati Rin, Miku, dan Kaito tiba-tiba datang dan memeluknya serta berkata selamat. Tunggu... selamat untuk apa?

"Eh, lepasin lepasin!" seru Len dan melepaskan diri. "Apa-apaan ini?"

"Loh? Kamu gak ngerti Len?" tanya Rin sambil memberikan secarik kertas ke Len. "Kamu yang ngerasain, seharusnya kamu tau dong."

Sertifikat ini diberikan kepada....
Len Kagamine
karena memenangkan pertandingan karate

Len melongo kembali. Jadi, mereka seperti ini karena untuk merayakan Len yang telah memenangkan pertandingan karate?

"Jadi, kalian kayak gini.... karena mau merayakan kemenanganku?" tanya Len.

"Nah, tuh tau!" seru Miku sambil tetap tersenyum. Kaito dan Rin ikut tersenyum.

"Coba, ceritain lebih detail dong," pinta Len. Akhirnya, Rin yang menjelaskan.

"Jadi gini... sebenernya, waktu kemarin kamu mau ngembaliin diary itu ya Len.. aku tuh sengaja simpen di meja tamu dan buru-buru masuk kamar.. kenapa? Soalnya, biar diary itu ada di kamu dan kamu baca. Kalo gak di baca sih, gapapa juga... kan kita gak bisa nentuin pada waktu itu...
Terus, aku pura-pura lagi nyari diary, padahal aku tau diary itu ada di kamu... dan soal isi di diary itu yang tentang 'Rin sahabatan sama Kaito' itu bohong Len... kita sengaja nulis itu biar kamu baca... dan biar kamu curiga sama aku... kamu inget kan perjanjian kita waktu itu? Nah, skenario di sini, aku pura-pura ngingkar janji itu Len..
Terus, Miku ikutan ngerayain. Ya udah, jadi kita ngelaksanain ini semua deh... Terus, sebenernya waktu aku sama Kaito lagi ngobrol pagi-pagi di sekolah itu, kita udah tau kalo kamu tuh lagi ngawasin kita.. Jadi kita pura-pura gatau dan membahas diary itu.. Nah, begitulah ceritanya!"

Len mengangguk-angguk tanda paham.

"Jadi, kita cuma mau bikin kamu seneng aja dengan ngerayain kemenangan kamu... soalnya akhir-akhir ini kita ngeliat kamu kayak sedih gitu," kata Rin.

Len menatap Rin, Miku, dan Kaito dengan lama. Tak lama Len membuka mulutnya.

"Makasih banget ya kalian, udah merhatiin aku. Rin, kembaran yang paling hebat di dunia, thanks. Miku dan Kaito, teman nomor satu, thanks juga ya. Pokoknya, aku gak bakal lupa sama momen ini," kata Len. Terlihat bahwa Len terharu dengan semuanya.

"Nah, Len, jangan sedih lagi ya!" kata Rin sambil memeluk kembarannya.

END

(Maafin kalo ada kata yang typo, kata yang salah, atau sebagainya. Maafin juga kalo ceritanya rada maksa. Soalnya ini pas-pasan banget (?) ya udah deh, dadah o/)

Sunday, November 17, 2013

AraTAPE 3

Tidak seperti biasanya, saat pulang sekolah, aku mampir ke kafe dekat sekolah bersama Geni, teman belakang bangkuku yang menyebalkan itu loh.

"Ngapain kamu ngajak aku ke sini?" tanyaku bingung. Geni duduk di hadapanku.

"Gue mau ngomong sesuatu sama elo, Pe," jawab Geni. Aku mengangkat satu alis.

"Tentang?"

"Dengerin gue dulu."

Aku pun duduk dengan manis sambil menunggu Geni berbicara.

"Tape, lo putus sahabat dong sama Desi."

HAH?! Apa maksud dia sih? Kenapa tiba-tiba...?

"Kamu nyuruh aku putus sahabat sama Desi? Emangnya kamu siapanya kita berdua? Kenapa tiba-tiba ngatur kita? Emang apa masalah kamu sama kita?"

"Bukan gitu, Pe," ujar Geni. Dari raut wajahnya terlihat dia sedikit takut saat aku marah padanya.

"Terus gimana?" tanyaku.

"Yah, gini loh. Lo dengerin gue dulu. Jangan langsung tanya macem-macem. Gue belum selesai bicara," kata Geni.

Oke deh. Oke deh. Aku harus menyimpan amarahku untuk berikutnya jika Geni membuatku naik darah lagi.

"Gue dari dulu benci sama Desi sebenernya," jelas Geni. "Gue pengen banget kalo Desi keluar dari sekolah ini."

Aku mengangguk-angguk tanda paham.

Lalu, Geni melanjutkan, "dan, dari dulu juga, gue pengen banget sahabatan sama elo."

Aku diam saja mendengarnya. Tiba-tiba Geni menggenggam tanganku.

"Pe," katanya. "Mau jadi sahabat gue gak?"

Aku masih diam.

"Kalo lo mau jadi sahabat gue, lo harus putus sahabat sama Desi."

Aneh-aneh aja anak ini.

"Karena gue gasuka lo sahabatan sama Desi. Lo tau? Gue anti Desi."

Aku langsung berdiri dan berkata padanya, "denger, Gen. Aku gabakal pernah putus sahabat dengan Desi. Kalaupun aku punya sahabat baru, orang itu tetap akan menjadi sahabat Desi juga. Dan kamu gabisa maksa aku untuk putus sahabat dengan Desi dan bersahabat denganmu. Sori ya."

Aku langsung pergi meninggalkan Geni. Kenapa Geni kembali membuatku kesal hari ini?

Aku kembali ke sekolah untuk membeli minum di kantin. Seharusnya, sih, aku membeli minum di kafe tadi. Cuman, sudah keburu kesal dengan Geni, jadi lupa. Yah, sudah terlanjur ini. Mungkin minuman yang dijual di kantin sekolah lebih murah dibanding yang dijual di kafe.

Ternyata, Desi masih ada di sekolah. Setelah membeli minum di kantin, aku menghampiri Desi yang duduk di bangku taman sekolah.

"Hai Desi!" sapaku sambil ikut duduk di sampingnya.

Desi menoleh ke arahku dengan muka datar. "Ke mana aja kamu, Ra?"

"Hah? Maksudnya?" aku balik bertanya padanya.

"Aku nunggu kamu daritadi di sini."

HAH?! Maafkan aku, Desi...

"Oh, sori Des... tadi aku ke kafe deket sekolah itu. Aku gatau kalo...."

Tiba-tiba Desi tertawa terbahak-bahak. Sumpah, aku benar-benar tidak mengerti.

"Ya ampun, Ra! Kamu lucu banget sih," katanya. "Aku cuma bercandaaaaa."

Akhirnya aku ikut tertawa. Kenapa aku tidak berpikir daritadi? Desi itu bisa dibilang tidak pernah marah kepadaku. Kalaupun marah, tidak seperti tadi.

"Ya sudah, ayo pulang!" ajak Desi sambil menarik tanganku. Aku mengikutinya dan keluar sekolah. Kami menyetop angkot dan berhenti di depan komplek rumah kami. Rumah kami satu komplek, hanya saja beda blok. Akhirnya kami berpisah di dalam komplek.

(bersambung)

Tuesday, October 15, 2013

AraTAPE 2

Teman belakang bangkuku, Geni, menghampiriku sambil tersenyum dibuat-buat--seperti biasa.

"Pagi Tapeee..." katanya sambil menepuk bahuku.

"Pagi Gen," balasku dan membalas senyumnya. Desi tersenyum saat Geni menyapa Desi.

"Eh, Pe, pinjem pensil dong," ujar Geni dan kembali memunculkan senyumnya yang dibuat-buat.

"Hah? Pensil? Buat apa?" potong Desi cepat. Geni memelototkan matanya ke arah Desi.

"Ya untuk menulis!" seru Geni. "Gimana? Kamu kan penjual pensil... jadi..."

Desi kembali memotong perkataan Geni dengan cepat. "Apa yang kamu maksud dengan kata 'penjual pensil'? Hanya karena Ara tidak sekaya kamu, kamu mengejeknya begitu? Dasar! Tidak tahu diuntung! Ara, jangan pinjamkan pensil ke dia!"

"Eh, Des, udah udah. Jangan kayak anak kecil gitu.. aku ngerti kok maksud Geni," kataku menenangkan Desi. Desi hanya mengangguk. Geni kembali tersenyum dan menatapku.

"Jadi? Mana pensilnya?" tanya Geni tidak sabar.

Aku memeriksa tempat pensilku. Tapi hanya ada satu pensil 2B dan satu penghapus.

"Ah, maaf ya Gen. Aku cuma bawa satu pensil dan aku pasti butuh pensil. Kenapa kamu gak pinjem ke Hana aja? Dia kan duduk di samping kamu, dan biasanya dia juga bawa banyak pensil. Ya kan?" ucapku. "Jangan susah-susah pinjem ke aku kalo ternyata orang yang duduk di samping kamu itu punya pensil."

"Hei," Desi menyela. "Hanya masalah pensil saja! Jangan memasang muka ingin menangis begitu dong, Gen! Lo lebih mirip anak kecil dibanding gue!"

Ya, itulah Desi. Kalau dia sudah mulai kesal dengan seseorang, dia pasti langsung berkata "gue" "elo".

"Desi, sabaaar," kataku sambil mengelus bahu Desi.

Geni tidak berkata-kata tapi dia masih memasang muka ingin menangis. Kalau ada keinginannya yang tidak dituruti, dia pasti akan menangis.

"Udah, lo pergi sana! Jangan ganggu kita! Kita mau belajar buat ulangan nanti!" seru Desi sambil mengusir Geni. Dengan muka cemberut Geni menjauh dari aku dan Desi dan duduk di bangkunya.

"Des! Jangan begitu sama Geni!" kataku pada Desi sambil berbisik.

"Ah, anak kayak gitu mah jangan dikasihanin! Ntar kamu jadi terpengaruh sama dia! Trus ntar kamu jadi gak sahabatan lagi sama aku," jawab Desi. Aku tersenyum kecil.

"Kalo gak sahabatan sama kamu lagi sih, kayaknya gak mungkin," ujarku.

"Hehe," balas Desi sambil nyengir. "Ya udah yuk, Ar, lanjutin belajar."

Kami pun kembali belajar dan berhenti saat terdengar bel berbunyi tanda pelajaran akan dimulai.

*

Selesai ulangan, aku dan Desi keluar dari kelas dan pergi menuju kantin.

"Ah, udahlah! Aku nyerah sama soal tadi! Susah banget Ra!" keluh Desi padaku saat perjalanan menuju kantin.

"Bener! Aku juga nganggep susah soal tadi," kataku setuju dengan perkataan Desi.

Sampai di kantin, kami memesan makanan. Setelah itu, kami mencari tempat yang kosong. Tapi sayangnya, semua tempat di kantin sudah penuh, tumben sekali. Kami bingung mau duduk di mana. Tapi, tiba-tiba...

"Woy! Lo berdua!"

Aku dan Desi mengikuti arah suara tadi. Yah, mungkin suara itu tidak menuju ke kita. Tapi, ternyata orang yang bersuara tadi memanggil-manggil kami dan melambaikan tangannya ke arah kami. Dia Farrel, teman seangkatan kami.

"Desi, Ara!"

Farrel memanggilku dengan sebutan "Ara". Kenapa? Aku pernah bilang kan? Hanya kelasku dan sebagian anak-anak yang sahabatnya itu ada di kelasku yang memanggilku "Tape". Jadi, aku masih bisa bersabar banyak.

"Lo berdua, sini!"

Aku dan Desi menghampiri Farrel yang memanggil kami. Farrel sedang makan bersama temannya (yang senangnya juga beda kelas dan tidak memanggilku tape), Bima.

"Apa Rel?" tanya Desi cepat.

"Kalian makan di sini aja. Ini ada dua kursi kosong," kata Farrel sambil menunjuk dua kursi yang nganggur. Aku dan Desi tersenyum dan duduk di dua kursi itu yang menghadap ke Farrel dan Bima.

Saat kami sudah duduk, Desi berkata, "tumben banget kalian baik."

"Heh, jangan anggep kita berdua sebagai temen sekelas lo dong Des. Anak kelas lain lebih baik dibanding anak kelas kalian," kata Bima.

"Iya deh, iya deh," balas Desi. Lalu kami berempat menikmati makanan kami lagi.

Lalu, Farrel memulai topik pembicaraan. "Eh, Ara, lo di kelas dipanggil Tape ya?"

Dengan memasang muka kecut, aku menjawab, "iya."

"Wah! Keren!" seru Bima tiba-tiba. Aku dapat melihat Desi memelototkan matanya kepada Bima.

"Keren? Keren apanya bu!" balas Desi. Bima memasang muka sebal.

"Heh! Gue bukan ibu-ibu!" kata Bima. "Gue anak muda!"

"Iya, iya, tau," jawab Desi. "Sori, keceplosan."

"Keceplosan, keceplosan. Alasan aja lo ah," ucap Bima.

"Lo mau gue sembur lagi apa nggak? Kalo nggak, diem boleh kan?" ujar Desi dengan bersikap semanis mungkin. Desi... kamu ketularan siapa? Kata-katamu beda banget.

"Iya nona," jawab Bima dan menyeruput esnya.

"Aduh, kalian berdua ini. Aku nanya ke Ara, kalian malah nimbrung," kata Farrel. Bima dan Desi nyengir.

"Hehe, piiis," ujar mereka. Lalu, Farrel kembali menatapku.

"Kenapa dipanggil Tape? Emang nama panjang lo apa sih?" tanya Farrel. Sebelum aku sempat menjawab, Bima kembali menyela.

"Ya, tentu saja ARAAAAAAAAAAAA," jawab Bima.

"Gue gak nanya ke elo!" seru Farrel lalu beralih padaku.

"Nama lengkap maksudnya? Aratape Harifin," jawabku mencoba untuk santai.

"Pantes... nama kamu ada Tapenya... baru tau gue," kata Farrel. Bima mengangguk setuju.

Bel berbunyi. Aku dan Desi berpisah dengan Farrel dan Bima dan kembali ke kelas masing-masing. Pelajaran berikutnya adalah pelajaran yang paling kubenci, PKn!

(bersambung)

Chapter 5 (Toizu)

Perjalanan dari rumah Tasha sampai sekolah baruku itu hanya menempuh sekitar 10 menit. Cukup dekat rupanya. Lalu Tasha berpamitan kepada ibunya dan mengajakku turun. Aku mengucapkan terima kasih pada  ibu Tasha dan iku turun.

Sekolah Tasha bagus sekali! Ini pertama kalinya aku melihat sekolah, dan sekolah yang sangat bagus. Yah, mungkin karena ini pertama kalinya aku melihat sekolah, aku beranggapan bahwa sekolah ini memiliki gedung yang bagus. Entahlah kalau orang lain. Gedung itu bertingkat tiga, dan berwarna hijau terang. Lalu ada sebuah gerbang besar yang mengarah ke dalam daerah gedung itu. Tasha mengajakku untuk masuk ke dalam gerbang itu.

"Nah, Fia, ini sekolahku. Aku sekarang ada di kelas 9-4. Lantai satu, itu untuk daerah kelas 7. Lantai dua untuk daerah kelas 8. Sedangkan lantai tiga untuk kelas 9 atau tempatku belajar," jelas Tasha. "Ah! Aku aneh banget! Aku ajak kamu sekolah, tapi aku gak tahu umur kamu."

Umur? tanyaku dalam hati. Selama ini, aku benar-benar tidak tahu mengenai umur. Aku tahu apa makna dari umur. Tapi, aku tidak tahu aku sudah umur berapa.

"Kau kan tersasar, ya? Kira-kira, kau masih ingat tidak umurmu?" tanya Tasha, "atau kelas deh! Kau ingat tidak dulu kau kelas berapa?"

Apalagi kelas. Aku saja di Toizu tidak sekolah.

"Hmm.. mungkin aku benar-benar sudah lupa," jawabku bohong.

"Wah... bagaimana ini? Masa kau harus di luar menunggu? Itu kan tidak mungkin..." desah Tasha sambil berpikir. "Ah! Bagaimana kalau kau ikut ke kelasku saja?"

"Ke kelas Tasha?" ulangku. "Memangnya, aku harus ngapain nanti?"

"Ya tentu saja belajar!" seru Tasha. "Sekolah kan memang tempat untuk belajar, Fia.... kau pasti ingat itu."

'Tempat untuk belajar'? Sekolah itu tempat untuk belajar? Jadi.. untuk apa aku membawa buku? Dan untuk apa aku bermimpi bahwa sekolah adalah tempat untuk bersantai-santai? Aku ini orang aneh.

"O, oh.... iya, tentu saja kau ingat," jawabku sambil tersenyum kecil. Tasha tersenyum juga dan mengajakku untuk ke kelasnya.

"Baiklah, tak apa. Di kelas aku kan, ada kursi kosong tepat di sampingku bekas Tina yang pindah sekolah itu. Kau bisa duduk di sampingku, Fia," kata Tasha sambil tersenyum senang. Aku nyengir.

Sesampainya di kelas Tasha atau di kelas 9-4, aku menatap ke semua yang ada di kelas itu. Ada anak-anak yang sedang mengobrol, ada kertas besar dengan diberi bingkai yang menempel ke dinding, ada kursi dan meja, ada rak, dan masih banyak lagi.

"Hai, Tasha!"

Aku mendengar sekumpulan anak perempuan yang sedang mengobrol memanggil Tasha. Aku menoleh pada Tasha yang melambaikan tangannya dan masuk ke kelasnya. Aku masih berdiri di ambang pintu. Untuk masuk, aku merasa canggung. Karena, kelas ini belum resmi menjadi kelasku, mungkin saja.

"Hai, Nea, Tia, Ananda, Heni!" sapa Tasha kepada anak perempuan yang tadi menyapanya. Lalu, anak perempuan itu menoleh ke pintu dan menatap aneh padaku.

"Sha, siapa dia? Tadi aku lihat dia bersamamu," tanya salah satu anak perempuan sambil menunjukku. Tasha mengikuti arah yang dimaksud anak perempuan itu dan tersenyum saat melihatku.

"Ah, ya." Tasha berlari menghampiriku dan menarikku masuk. Aku hanya bisa mengikutinya. Selama aku bersama Tasha, aku akan aman.

"Nah, semuanya." Tasha membawaku ke hadapan keempat anak perempuan itu. "Kenalkan, ini Lifia. Dia temanku."

"Hai.." sapa mereka sambil menjabat tanganku. Aku membalasnya dengan muka polos. Lalu, keempat anak perempuan itu mengenalkan dirinya. Aku baru tahu bahwa mereka berempat adalah sahabat Tasha.

(to be continued)

Friday, October 11, 2013

AraTAPE 1

Aku mulai bikin cerita lagi~ insya allah bisa selesai :) sekarang, mau bikin cerita~ (entah bakal bersambung lagi atau tidak) dan aku terinspirasi dari kata 'tape'. Kalo tape, waktu itu entah kenapa inget sama kak salsa dari dcfam waf, terus keinget tape dan ada inspirasi untuk bikin cerita. nah, enjoy~

*

Hai, namaku Aratape Harifin. Panggilanku Ara. Umurku 13 tahun. Kalian ada yang bingung, tidak, dengan nama lengkapku? Waktu kecil aku tidak terlalu memikirkan nama itu. Tapi semakin lama nama itu menjadi menggangguku. Ya, nama AraTAPE itu. Dulu, aku tidak terlau mengerti tentang tape. Jadi aku biasa-biasa saja. Tapi lama-kelamaan nama itu menyebalkan. Coba saja, nama ARA sudah terdengar bagus, lalu dibelakangnya ditambah TAPE. Apa tidak terlalu aneh?

Tape. Kalian langsung terpikir apa? Jujur saja, aku langsung terpikir tentang tape, makanan khas bandung itu, lalu tape recorder, dan mungkin masih banyak lagi. Sebal tidak? mungkin untuk kalian yang belum pernah merasakan memiliki nama seperti itu, biasa saja. Sedangkan aku, terganggu sekali.

Di sekolah, teman-teman selalu memanggilku 'tape'. Tapi bukan tape recorder yang menurutku lebih mending, melainkan dengan 'tape' makanan itu. Ada yang mengejekku 'tape hitam', 'tape jagung', 'tape merah', dan masih banyak lagi. Aku sudah sangat sabar menghadapi semua itu setiap hari. Dan yang selalu menghiburku di sekolah setiap saat adalah Desi, sahabatku.

Baik, mungkin perkenalan sudah cukup. Mari kita mulai ceritanya.

*

Pagi itu, hujan turun dengan sangat deras. Aku berjalan kaki dengan membawa payung dan merasakan hawa dingin di sekitarku. Walaupun aku sudah berjaket tebal, tetap saja terasa.

"Eh, Pe!"

Aku merasa seseorang memanggilku. Aku menoleh ke kanan, ke kiri, ke belakang, ke depan. Ah, mungkin 'Pe' itu bukan Tape yang biasa teman-temanku sebut kepadaku. 'Pe' itu bisa saja berarti lain. Berarti, kali ini aku ge-er ya..

Aku melanjutkan langkahku tanpa memedulikan panggilan tadi. Lalu, tiba-tiba seseorang menepuk bahuku dengan sangat keras. Aku menjerit.

"Nyante," katanya santai padaku.

Aku menoleh ke kanan. Dia adalah teman depan bangkuku, namanya Kenny.

"Nepuk keras gitu, gimana gak kaget?" seruku kesal. Kenny hanya tertawa kecil dan merangkulku. Wah, aku tahu maksudnya.

"Tape, pinjem catetan Bahasa kamu dong," katanya dengan muka memohon. Inilah penyakit teman sekelasku. Kalau mereka menginginkan sesuatu dariku, mereka akan merangkulku dan berkata permintaannya dengan muka memohon.

"Eeeh, ogah ya mbak. Males banget deh," balasku sambil melepas rangkulannya. "Salah sendiri kenapa gak nyatet kemaren."

Yah, bisa dibilang, aku anak paling rajin di kelas, atau bisa dibilang di angkatan.

"Kalo gak ngasih, ntar dimakan tape yang lain loh."

Aku mengangkat satu alis. Ini berusaha untuk menakut-nakuti aku? Dan mengancam aku?

"Gak ngaruh. Aku gabakal takut. Lagian kamu pikir aku tape makanan gitu mbak? Trus kalo aku gak ngasih catetan ke kamu, aku bakal dimakan makanan tape yang lain, gitu? Serem apanya..."

Kenny hanya cengengesan sendiri. Lalu aku berkata lagi, "udah ah. Kalo ngerayu lagi, seumur hidup gabakal kukasih catetan pelajaran."

"Eh, iya iya," jawab Kenny lalu mingkem.

Sebenarnya, aku gabakal mau ngasih catatan lagi ke Kenny. Kenapa? Setiap aku ngasih catatan ke dia, pasti catatan itu tidak balik. Alhasil aku harus menulis ulang dari sahabat setiaku, Desi. Makanya aku kapok ngasih catatan ke dia.

"Araa!"

Aku kenal suara itu. Pasti Desi. Hanya dia satu-satunya murid yang memanggilku Ara di kelas.

"Hai, Des!" balasku saat sudah melihat sosok Desi. Desi nyengir-nyengir.

"Eh, Kenny," kata Desi sambil mengalihkan perhatiannya ke Kenny. "Tumben deket-deket Ara."

"Iya, dong. Kan mau pinjem catetan ke tape," ujar Kenny sambil kembali merangkulku. Aku memasang tampang sebal ke Kenny.

"Gak bakal kukasih. Setiap aku pinjemin catetan ke kamu, pasti ilang," ucapku.

"Yah, itu kan gak sengaja..."

"Masa? Jangan bohong mbak," kataku langsung. Lalu Desi menarikku.

"Ayo Ra, ke kelas. Abaikan aja si Kenny itu," kata Desi dan menarikku menjauh dari Kenny. Kenny hanya diam saja dan berjalan dengan santai ke teman yang sedang lewat. Entahlah siapa orang itu.

Aku dan Desi berjalan menuju kelas. Sampai di kelas, semua murid yang ada di kelas langsung berteriak, "HAI TAPEEEEEEE!"

Tetap sabar seperti biasa, Ara.

(bersambung)