Saturday, December 29, 2012

Cerpen "Gokiburi"

"Hani!"
            Hani menoleh. Ternyata Jeje yang memanggilnya.
            "Ada apa?" tanya Hani. Jeje hanya menunjuk-nunjuk kertas kecil yang dipegangnya.
            "Apa maksudnya ini?" Jeje balik bertanya sambil terus menunjuk-nunjuk kertas kecil dengan tatapan marah.
           "Kenapa? Ada yang salah?" ujar Hani sambil merebut kertas tersebut. Dia membacanya dan menoleh ke Jeje.
            "Kau menyadarinya kan?!" seru Jeje dan mukanya memerah saking kesalnya.
            "Ada apa sih? Sudah dulu ya, aku mau pulang," kata Hani santai sambil meninggalkan Jeje. Inilah kebiasaan Hani, suka jahil dan membuat teman-temannya marah, tapi dia tidak mengakuinya.
            Sampai saat itu, dalam kertas kecil yang dipegang Jeje isinya adalah ejekan untuknya yang dibuat Hani. Semua orang sudah tahu bahwa Jeje anak yang gampang marah, walaupun begitu Hani tetap menjahilinya. Dia senang melihat Jeje marah tak terkendali.
            Hani berlari pulang karena tidak mau terkena marah Jeje. Dia tertawa-tawa sendiri saking senangnya mengganggu Jeje. Lalu seseorang memanggilnya, "Hani!"
          "Eh, Xave!" seru Hani dengan tatapan senang. Xave adalah temannya yang juga suka menjahili seseorang. Bisa dibilang mereka satu tim.
            "Hari ini kamu jailin siapa aja?" tanya Xave.
         "Banyak. Ada Natasha, Fitri, Hanifa, Veren, Licya, dan Jeje," jawab Hani sambil memasukkan permen mainannya untuk dijadikan jailan ke temannya besok.
            "Wah? Kau jailin Jeje? Bagaimana tampangnya?" tanya Xave lagi sambil membayangkan wajah Jeje saat sedang marah.
            "Kau pasti tidak tahan dengan wajahnya!" seru Hani sambil tertawa puas. Xave juga ikut tertawa.
            "Oh iya, hari ini kamu menjahili siapa aja, Ve?" tanya Hani.
            "Ooh.. hanya 4 orang. Ada Aldy, Daffa, Panji, dan Siddhi," jawab Xave. "Tapi mereka biasa saja, mungkin mereka sudah biasa dengan tipuanku. Lebih baik besok aku ganti korban."
            "Sudah kuduga, tipuanmu juga sudah pasaran dan juga tidak seru. Aku punya barang baru," kata Hani sambil memberikan Xave sebuah permen karet yang jika dipegang akan meledak.
            "Apakah ini permen karet yang meledak itu?" tanya Xave.
           "Iya! Aku baru membelinya kemarin. Aku belum mencobanya, tapi sepertinya permen karet itu dapat bekerja dengan baik," jawab Hani. Xave mengangguk-angguk dan menyimpan permen karet itu ke tasnya.

*

            Keesokan harinya, Hani dan Xave beraksi lagi. Kali ini Hani akan menjaili Salsa. Saat istirahat dia menghampiri Salsa yang sedang membaca buku di kelas.
            "Hey, Salsa!" panggil Hani dengan senyum jahilnya. Salsa menoleh padanya.
            "Ya, ada apa Hani?" jawab Salsa.
            "Kamu gak snack?" tanya Hani sambil duduk di sebelahnya.
            "Aku gak bawa uang," jawab Salsa datar.
            "Aku bawa cokelat batang nih. Kamu mau?" tanya Hani sambil memperlihatkan cokelat batangnya. "Aku bawa lima nih."
            "Gak usah, aku gak lapar. Itu juga bekal kamu," ujar Salsa.
            "Ayo, ambil aja, gapapa," kata Hani sedikit memaksa. Salsa menggelengkan kepalanya.
            "Ya udah kalau gamau. Tapi kalau kamu berubah pikiran, aku tinggalkan cokelatnya di sini ya," kata Hani sambil menyimpan cokelat batangnya di meja Salsa dan meninggalkannya. Hani kembali ke kursinya dan melihat gerak-gerik Salsa.
            Saat yang ditunggu-tunggu pun datang. Salsa mengambil cokelat batang yang pertama, saat dia menggigitnya, mukanya langsung memerah dan matanya berair. Ternyata, cokelat batang yang Salsa ambil adalah cokelat yang dalamnya terdapat 5 buah cabe rawit. Salsa langsung mencari air minum. Hani tertawa terbahak-bahak dan untung saja Salsa sudah keluar kelas untuk mencari air minum.
            Pulang sekolah pun tiba. Hani langsung menghampiri Xave yang sedang memasukkan mainan tipuannya ke dalam tas.
            "Hai! Bagaimana? Berhasil menipu Ariq?" tanya Hani sambil menepuk tas Xave.
            "Berhasil! Ternyata permen karet yang diberikanmu efeknya bagus banget! Sampai sekarang Ariq masih takut tuh dengan ledakannya, mungkin dia masih terbayang-bayang dengan suara ledakannya," jawab Xave sambil menunjuk Ariq yang badannya masih gemetaran. Hani dan Xave tertawa puas.
            "Oh ya, hari ini kamu jailin siapa?" tanya Xave pada Hani.
            "Salsa! Walaupun cuma jailin Salsa, tapi aku puas banget!" jawab Hani sambil tertawa.
            "Apa yang kau lakukan ke Salsa kali ini?" tanya Xave tidak sabar.
            "Kali ini aku memberinya cokelat batang. Dia memakan cokelat batang yang isinya ada 5 cabe rawit," jawab Hani. "Dan lihatlah."
            Hani mematahkan salah satu cokelat batang yang dikembalikan Salsa padanya. Isi cokelat batang yang dipatahkan Hani adalah garam.
            Sambil pulang Hani dan Xave terus tertawa saking gelinya dengan cerita-cerita tadi. Hani masih menyiapkan 3 cokelat batang yang isinya bermacam-macam. Dan target dia besok adalah Rana, Mei, Diana, Fani, dan Nanda.
            "Hey Xave, besok kamu menjahili siapa?" tanya Hani.
            "Maunya sih Hamzah, Fendi, dan Mikail," jawab Xave. "Kalau masih sempat aku juga mau menjahili Ivan."
            "Wah, oke.. awas, hati-hati nanti pas ngejailin Fendi!" ucap Hani.
            "Yap, tenang aja," kata Xave santai.
            Lalu mereka berdua berdiskusi akan menjahili dengan tipuan seperti apa dan seperti apa barangnya. Mereka juga mampir dulu di toko mainan untuk persiapan besok. Dengan tidak mereka sadari Adilla, Annisa, dan Rania melihatnya dan mendengar pembicaraan Hani dan Xave.

*

            Keesokan harinya, Hani kembali beraksi. Saat jam istirahat, dia menghampiri Rana di kantin yang sedang makan bersama Mei, Fani, dan Nanda.
            "Hey semua!" sapa Hani mencoba untuk ramah.
            "Hai, Ni," balas Rana.
            Lalu Hani mengeluarkan sesuatu dari tas kecilnya, "Nih, ada yang mau?" Hani menawarkan 4 permen yang berbeda-beda rasanya.
            "Permen merk apa itu?" tanya Nanda. "Aku belum pernah melihatnya."
            "Permennya memang gak terkenal sih. Tapi halal kok, percaya deh," jawab Hani sambil tersenyum iseng.
            "Aku nggak deh, lagi gak mood," kata Mei sambil tersenyum kecil. Dalam hati Hani sedikit kecewa, tapi untuk Mei dia punya tipuan lain.
            "Kalau Fani, Rana, sama Nanda gimana? Mau gak?" tawar Hani dengan tampang memelas.
            "Oke deh aku ambil satu," jawab Fani sambil mengambil permennya dari tangan Hani dan membuka bungkusnya.
            "Sini, aku ambil satu," ujar Rana dan mengambil permennya.
            "Nanda mau? Ayo! Rugi loh kalau gak makan permen ini," kata Hani sedikit memaksa.
            "Nyobain deh." Nanda mengambil permennya dan membuka bungkus dan memakannya. Dan sisa satu permen di tangan Hani, yang awalnya untuk Mei, tapi kali ini dia akan memberikan permen ini ke Diana.
            "Oke.." dalam hati Hani senang dan kembali berkata, "Oh ya, ada yang tahu sekarang Diana ada di mana?"
            "Kalau gak salah dia ada di kelas," jawab Mei dan Fani berbarengan.
            "Ooh, terima kasih!" seru Hani sambil meninggalkan mereka berempat sambil tersenyum puas.
            Lalu Hani kembali ke kelas dan melihat ada Diana yang sedang memainkan hpnya. Hani menghampirinya dan menyapanya, "Hai, Diana!"
            "Oh, hai," balas Diana.
            "Kamu gak jajan?" tanya Hani.
            "Tadi udah kok," jawab Diana.
            "Nih, kalau kamu masih lapar," ujar Hani sambil menyodorkan satu permen rasa jeruk yang tersisa.
            "Gak usah ah," balas Diana datar.
            "Udah gapapa, aku ikhlas kok. Ayo ambil aja, ayo!" kata Hani sedikit memaksa. Diana orangnya gampang termengaruh jika ada yang memaksanya.
            "Iya iya aku ambil permennya," jawab Diana dan mengambil permen di tangan Hani. Dia membuka bungkusnya dan mengemutnya. Tak lama kemudian tampangnya berubah.
            "Kenapa, Di?" tanya Hani pura-pura tidak tahu.
           "Ugh, aku mau ke toilet sebentar ya!" seru Diana sambil berlari menjauh. Hani tertawa terbahak-bahak melihat itu. Dia juga yakin bahwa Rana, Fani, dan Nanda juga akan ke toilet.
            Sebenarnya permen itu sudah dicampur dengan bubuk mules. Jadi, yang memakan permen itu akan merasa mules, dan bubuk itu hanya bereaksi selama dua hari. Hani masih tertawa terbahak-bahak dan dia puas apa yang tadi ia lakukan.

*

            Hari itu Hani belum sempat mengerjai Mei. Meinya selalu berhalangan, saat dia mau menjailinya, Mei sedang mengobrol dengan guru. Hani tidak mau melakukannya di depan guru dan dia tidak mau terkena marah dari guru. Dan saat mau menjaili Mei yang kedua kalinya, Mei sedang ada di ruang mading yang diawasi kepala sekolah. Dan Hani memutuskan besok dia akan mengerjakan Mei, Nabila, Aya, Nisa, Adilla, dan Annisa. Kenapa banyak? Karena Aya, Adilla, dan Annisa selalu di dalam kelas mereka setiap istirahat, sedangkan Nabila dan Nisa mereka selalu di lapangan untuk menonton laki-laki main bola. Dan Mei, dia harus langsung mengerjainya besok dan target pertamanya Mei.
            Hani kembali mengobrol dengan Xave. Seperti biasanya mereka tertawa puas dengan cerita masing-masing. Dan mereka kembali membeli barang tipuan untuk besok, mereka membeli sampai sekardus untuk dibawa sebagian besok karena target Hani dan Xave banyak.
           
*

            Keesokan harinya, saat jam istirahat, Hani kembali mengerjai teman-temannya. Dan dia bisa mengerjai Mei tapi tidak begitu bagus, Mei bukan tipe orang yang heboh, dia bisa dibilang lempeng. Setelah itu dia mengerjai Nabila dan Nisa dan berhasil. Selanjutnya, Annisa dan Adilla!
             Hani memasuki kelas Annisa dan Adilla, dan dia pergi ke tas Adilla dan diam-diam memasukkan kecoa kecil ke dalam tasnya. Jadi saat Adilla membuka tasnya, kecoa itu akan loncat dan menempel di bajunya dan pastinya itu hanya kecoa mainan.
            "Hai Adilla, Annisa!" sapa Hani.
            "Hai Hani," balas Adilla dan Annisa berbarengan.
            "Eh, Adilla, aku boleh pinjam buku catatanmu?" tanya Hani.
            "Oh, boleh kok. Tunggu sebentar ya," jawab Adilla sambil menuju tasnya dan Hani sudah berharap agar kecoa mainan tadi dapat berhasil.
            Dan saat Adilla membuka tasnya, kecoa mainan itu lompat dan menempel ke baju seragamnya. Adilla syok dan langsung pingsan. Annisa menahannya dan Hani menahan tawanya. Lalu satu kelas itu membawa Adilla ke UKS, Hani juga ikut ke UKS untuk melihat keadaannya. Dia tidak mau hanya karena jailannya Adilla menjadi sakit parah.
            Saat Hani dan teman-teman lainnya mau masuk ke UKS, petugasnya tidak mengizinkan dan hanya menyuruh kembali ke kelas. Dan Hani memutuskan akan menjenguknya pulang sekolah karena dia dengar bahwa Adilla harus dirawat sementara di UKS. Hani tidak menyangka bahwa akan terjadi kejadian seperti ini.
            Lalu saat pulang sekolah, saat Hani hendak ke UKS, dia bertemu dengan Annisa dan menyapanya, "Hai Annisa! Kamu mau ke mana?"
            "Aku mau menjenguk Adilla, kasian dia. Jantungnya lemah, dan jika ada yang membuatnya syok atau kaget tiba-tiba, dia bisa pingsan dan mungkin bisa meninggal. Tapi kuharap tidak," jawab Annisa. Hani kaget dalam hati, apa dia bisa membuat Adilla meninggal sekarang?
            "Oh ya, kamu juga mau ke mana?" tanya Annisa.
            "Oh, aku juga mau menjenguk Adilla," jawab Hani sambil tersenyum paksa.
            "Ayo bareng," ajaknya. Hani hanya tersenyum mengiyakan.
            Sesampainya di UKS, mereka masuk kamar 3, tempat Adilla. Saat mereka masuk, mereka melihat Adilla terbaring lemah di ranjang.
            "Hai Adilla," sapa Annisa sambil duduk di kursi samping ranjang tempat Adilla.
            "Hai, Annisa..." balas Adilla. "Hai juga Hani..."
            Hani hanya mengulumkan senyum saja. Dia tahu dia bersalah, tapi dia tidak mau mengaku bahwa dialah yang memasukkan kecoa mainan ke tas Adilla.
            "Waktuku tinggal sedikit," kata Adilla sambil tersenyum kecil.
            "Maksudmu?" tanya Hani tidak mengerti.
            "Udah, gak usah dibahas," jawab Adilla. Annisa hanya terdiam, dia mengerti apa maksud ucapan Adilla.
            Lalu suasana hening, tidak ada yang berbicara. Dan Annisa langsung angkat bicara, "Hey, Adilla! Kamu mau snack? Kalau mau nanti aku belikan, kantin belum tutup jam segini."
            "Boleh.." balas Adilla, "Terima kasih ya."
            "Ya, tentu," jawab Annisa. "Aku keluar dulu ya."
            Hani dan Adilla mengangguk mengiyakan. Lalu suasana kembali hening selama 3 menit.
            "Ngg.. Adilla," kata Hani.
            "Ya?" jawab Adilla.
            "Kalau aku boleh tahu, kamu sakit apa? Kok akhir-akhir ini aku jarang liat kamu?" tanya Hani.
          "Aku sakit biasa. Aku gak masuk karena ada keperluan keluarga kok," jawab Adilla sambil tersenyum.
            Hani tahu Adilla berbohong, tapi dia hanya bisa mengiyakan, "Oooh..."

*

            Keesokan harinya Hani mendapat kabar bahwa Adilla masuk rumah sakit. Hani tambah syok, dan pulang sekolah juga nanti Hani akan menjenguknya ke rumah sakit dan dia juga sudah mendapatkan alamat rumah sakitnya.
            Dan saat dia sudah sampai di rumah sakit seusai sekolah, dia kembali bertemu dengan Annisa. "Hey, Annisa!" panggil Hani.
            "Eh, Hani," balas Annisa. "Kamu mau jenguk Adilla?"
            "Iya! Kamu juga?" Hani balas bertanya. Annisa mengangguk.
            Sesampainya di kamar tempat Adilla dirawat, Hani dan Annisa masuk dan melihat lagi Adilla yang terbaring lemah. Mereka menyapanya tapi tidak dijawab. Mereka yakin Adilla sedang tidur, karena mereka tidak mau mengganggunya, akhirnya mereka menunggu di luar.
            Tapi 4 jam mereka menunggu Adilla tidak bangun-bangun. Wajar sih, orang sakit memang sebaiknya tidur. Lalu seorang dokter bersama susternya memasuki ruangan Adilla dan Hani serta Annisa tidak tahu apa yang dilakukan dokter tersebut. Tak lama orangtua Adilla datang dan dokter keluar dari ruangan Adilla. Dokter sempat berbincang-bincang dengan orangtua Adilla.
            Dan Hani serta Annisa melihat ibu Adilla yang menangis. serentak mereka bingung apa yang terjadi. Lalu mereka bertanya pada dokter.
            "Kalian siapanya Adilla?" tanya dokter.
            "Kami temannya, dok," jawab Annisa. "Apa yang terjadi pada Adilla?"
            "Waktu untuknya sudah habis," jawab dokter. Dan dokter meninggal mereka, sementara Annisa syok dan langsung menangis. Dan kali ini Hani mengerti apa yang terjadi pada Adilla, singkatnya, Adilla meninggal.

*

            Hanya karena kejailan, ternyata dapat menimbulkan kekacauan. Hani belum sempat meminta maaf, apalagi belum mengaku bahwa dia yang melakukan itu pada Adilla. Baru kali ini Hani menangisi orang yang meninggal. Dan orang itu bukan salah satu orang yang Hani sayangi.
            Adilla, maafkan aku. Kutahu kau kesal, kutahu kau benci padaku. Tapi sumpah, aku tidak tahu kalau kejadiannya sampai seperti ini. Akulah yang membuatmu seperti ini. Maafkan aku, Adilla.... maafkan aku... aku menyesal... maafkan aku...

Wednesday, December 26, 2012

Chapter Three - Hoseki

Hasilnya.... aku lulus dan ternyata sihir yang kupunya adalah cahaya. Dan bajuku secara tiba-tiba berganti, lambang permata di bagian dada kiri yang berwarna putih saja karena cahaya memang berwarna putih. Dan bajuku jadi sama persis dengan baju anggota Hoseki yang lain. Aku senang sekali saat ini.

"Waw! Ternyata bakatmu dari dulu cahaya ya? Padahal waktu itu aku ingin mendapat sihir cahaya loh," kata Kiyomi kaget saat melihat lambang permataku yang hanya berwarna putih.

"Haha, aku juga tidak tahu," ujarku.

"Selamat ya." tiba-tiba seseorang berambut lurus sepunggung kurang sedikit yang kulihat saat aku terbangun dari pingsanku itu tiba-tiba datang. "Kenalkan, aku Akiko Ishikawa. Aku juga bagian dari Hoseki. Aku bersihir api."

"Oh, salam kenal juga, Akiko," jawabku sambil tersenyum takut.

Lalu Kiyomi dan Akiko akan memperlihatkan Priez milikku. Priez itu semacam kos, dan Priez hanya ada di Hoseki.

"Oh iya, aku lupa memberitahu, tadi kau dipanggil Etsu, Kiyomi," kata Akiko dan seperti biasa datar dan dingin.

Eh? Etsu?, tanyaku dalam hati. Etsu adalah niichanku atau kakak kandungku. Apakah dia juga salah satu anggota dari Hoseki? Karena itu saat kita meneleponnya dia tidak jawab karena sangat sibuk? Tapi kesibukannya itu karena pergi ke Hoseki? Tapi itu belum cukup untuk membuktikan semuanya.

"Hah? Untuk apa?" tanya Kiyomi. "Apa dia memanggilku untuk meminta bantuanku menjawab soal Qrite-6 yang minggu lalu? hhh..."

"Mungkin saja. Ayo cepat datangi dia," jawab Akiko.

"Okelah. Harumi, nanti kau akan diperlihatkan Priezmu oleh Akiko ya. Daah, sampai nanti!" seru Kiyomi sambil berlari menjauh.

Aku mengangguk kecil. Beberapa menit kami hening. Lalu aku mulai memecah keheningan, "Hey Akiko."

"Ya?"

"Kalau aku boleh tahu, kamu sudah Qrite berapa?" tanyaku.

"Aku sudah Qrite-10. 12 lagi aku lulus dan akan mengurus Hoseki ini," jawab Akiko dan baru kali ini dia menoleh kepadaku.

"Waah, hebat. Oh ya, apa aku akan mendapatkan jadwal kelas?" tanyaku lagi.

"Tentu saja, seingatku kau akan memulai kelas besok," jawab Akiko sambil tersenyum kecil.

"Waaw, oke..."


***

Lalu Akiko menunjuk sebuah ruangan yang lumayan besar. Akiko juga memberiku kunci Prieznya dan dia juga berkata padaku bahwa jadwal kelas sudah ditempel di papan yang ada di Priez. Aku sudah sangat tidak sabar untuk melihat seperti apa Priezku. Awalnya aku ingin ditemani Akiko, tapi dia mau menanyakan soal Qrite-10 ke gurunya.

Saat aku membuka pintu Priez, lampu langsung menyala. Priezku bagus sekali! Karena aku bersihir cahaya, jadi ruanganku juga terang dan berwarna putih. Tempat tidurku transparan, di sampingnya ada lemari berwarna putih yang masih bersih. Lalu ada papan yang akan diisi hal-hal penting dalam Hoseki, seperti jadwal kelas. Lalu ada meja rias berwarna putih yang dihiasi awan-awan dipinggirnya. Dan juga ada dapur serta kamar mandi. Kamarku serba putih, dan yang pasti aku sangat senang berada di Priezku dan aku suka Priezku.

Aku keluar dari Priez untuk menikmati suasana di Hoseki. Aku terbang dan bersantai di atas awan. Seperti mimpi, karena tidak mungkin bisa kan? Aku sangat menikmatinya. Di Hoseki aku bisa melakukan hal yang kumau. Tidak seperti di rumah, kalau ada orang tuaku aku pasti disuruh untuk sopan, dan ah. Seperti aku itu seorang putri. Dan kedua pembantuku juga disuruh orang tuaku untuk mengingatkan jika aku melanggar peraturan di rumah atau bersikap tidak baik. Terlalu dipaksa, bukan?

Yah, dan sekarang aku menemukan kehidupan baru. Kehidupan di Hoseki...

(to be continued)

Chapter Two - Hoseki

"Aku? Sudah terdaftar dalam perkumpulan Hoseki?" tanyaku masih sedikit bingung.

"Iya, tapi kalau kamu tidak mau menjadi anggota Hoseki tidak apa-apa kok. Maksudnya langsung terdaftar itu bukan berarti kamu langsung mendapat bajunya atau sudah mempunyai sihirnya, tapi kamu harus mengisi soal untuk mengujimu. Bisa saja karena kepintaranmu, kamu bisa langsung ke Qrite-3 tapi tidak lebih dari itu," jelas Kiyomi.

"Tes apa kalau aku boleh tau?" kataku balik bertanya ke Kiyomi. Sejujurnya aku masih bingung dengan semua ini dan apakah Hoseki ini benar-benar ada pun aku masih memikirkannya.

"Kau akan tahu nanti, aku tidak bisa menjelaskannya. Jadi, kau mau menjadi anggota Hoseki, Harumi?" tanya Kiyomi. Aku mengangguk mantap.

Lalu aku diajak Kiyomi ke suatu tempat yang aku lihat diatasnya bertuliskan "Torokie". Aku masuk ke tempat Torokie itu dan bertemu dengan banyak orang yang sama sekali tidak kukenal. Lalu aku bertanya pada Kiyomi.

"Kiyomi, tempat apa ini?" tanyaku. Dengan tatapan lurus Kiyomi hanya menjawab, "Tempat kau mendaftar."

Lalu Kiyomi berhenti dan berkata, "Harumi Yamada mau mendaftar menjadi bagian dari Hoseki, Ms.." dan wanita di depannya mengangguk pada Kiyomi dan mengulumkan senyum padaku, dan aku hanya membalasnya.

"Ayo Harumi, ikut aku!" ajaknya ke suatu ruangan kecil, "Masuk ke sana, dan jawab semua pertanyaan yang diberikan. Usahakan setiap pertanyaan dijawab ya, good luck!" aku mulai merasa deg-degan, lalu aku membuka pintu dengan perlahan, secara tiba-tiba pintu itu langsung menutup dan ruangan yang kutempati sekarang turun ke bawah.

Aku bingung apa yang harus kulakukan sekarang. Secara tiba-tiba kursi dan meja yang menampung kertas dan bolpoin langsung menghampiriku. Kursi menyuruhku untuk duduk di atasnya dan kertas menyuruhku untuk langsung mengisinya. Sedangkan bolpoin menyuruhku untuk memakainya untuk mengisi soal-soal yang ada di kertas itu. Aku mengambil bolpoin dan menatap kertas, menjawab pertanyan-pertanyaannya.

Weiltra 1: 
Kelompok manakah yang akan kau masuki?
a. Berani, egois, tidak peduli.
b. Rajin, pintar, keras kepala.
c. Pemalas, berani, tidak percaya diri.
d. Egois, rajin, tidak peduli.

Aku hampir tidak mau menjawabnya karena tidak menyukai semua hal itu, tapi aku ingat perkataan Kiyomi "Usahakan setiap pertanyaan dijawab ya.." tapi kan 'usahakan' bukan 'harus'. Hatiku menyuruhku untuk menjawab, karena itu aku menjawab yang "a. Berani, egois, tidak peduli". Aku melihat pertanyaan kedua.

Weiltra 2:
Tempat manakah yang kalian sukai?
a. Hutan
b. Gua
c. Laut
d. Langit

Aku memilih "d. Langit".

Weiltra 3:
Warna apa yang kalian sukai?
a. Putih, merah
b. Biru, kuning
c. Hitam, ungu
d. Hijau, pink

Aku bingung untuk menjawab pertanyaan yang ketiga ini. Aku bingung antara menjawab "a. Putih, merah" dan "b. Biru, kuning". Akhirnya aku menjawab "a. Putih, merah".

Dan selesai. Cepat sekali? Hanya tiga pertanyaan? Lalu aku menyimpan bolpoin dan berdiri. Aku keluar dan aku mencari Kiyomi. Tapi aku tidak menemukan Kiyomi, hingga kupanggil namanya dia datang.

"Eh, maaf ya," katanya sambil kembali memasang sepatu. "Oh ya, kamu sudah selesai melakukan tes?"

"Sudah. Kenapa soalnya begitu mudah dan sedikit?" tanyaku heran.

"Untuk mengetes seseorang tidak memerlukan soal yang banyak dan susah. Buatlah soal dari hati, dan jawablah soal dari hati juga," jawab Kiyomi, "oh ya, kamu ingin mengetahui hasil tesmu?"

"Ya! tentu saja!" seruku bersemangat sekali. Saat kulihat wajah Kiyomi, aku langsung berkata, "sepertinya kau tahu jawabanku."

"Hah? Serius? Tidak mungkin. Soalnya saja aku tidak tahu," ujarnya biasa.

"Kau tidak tahu seperti apa soalnya? Bukankah seharusnya saat kau dites juga mendapat soal yang sama?" tanyaku kaget.

"Setiap orang memiliki jawaban yang berbeda-beda kecuali dia memiliki jiwa yang sama," jawab Kiyomi. Aku mendesah dan terus mengikuti Kiyomi sampai bertemu dengan wanita yang kutemui sebelum aku dites.

"Ms. Asami, Harumi Yamada ingin melihat hasil tesnya," serunya. Ms. Asami mengangguk dan mengambil selembar kertas.

Aku langsung merebutnya dari tangan Kiyomi. Aku langsung membacanya, dan ternyata.....

(to be continued)


Tuesday, December 25, 2012

Chapter One - Hoseki

Hai, namaku Harumi Yamada. Tapi panggil saja aku Harumi. Aku anak ketiga dari tiga bersaudara tapi bisa dibilang anak bungsu. Kakakku yang pertama bernama Etsu Yamada, dia kakakku yang laki-laki yang berumur dua puluh tiga tahun. Sedangkan kakakku yang kedua bernama Asami Yamada, dia kakakku yang perempuan yang berumur delapan belas tahun. Kedua kakakku sudah besar semua, sedangkan aku masih berumur tiga belas tahun. Aku bosan sekali di rumah, tahu kenapa? Karena kedua kakakku sudah sibuk dengan urusannya sendiri dan mereka sudah hidup sendiri. Sedangkan aku masih tinggal bersama orang tua. Dan juga orang tuaku kerja, jadi di rumah aku hanya bersama kedua pembantuku di rumah yang besar sekali. Sudah besar, sepi pula. Walaupun begitu, aku punya kebiasaan sendiri saat aku mulai bosan.

Aku keluar dari rumah. Aku bosan di rumah, seperti penjelasan di atas, orang tuaku kerja dan aku hanya bersama kedua pembantuku. Jadi, untuk mengisi waktu luangku biasanya aku bermain di taman kota. Biasanya sih aku tiduran di rumput dan menikmati angin sejuk yang membelai rambutku. Aku sangat senang dan sangat menikmati saat saat itu, dan biasanya aku tertidur. Tapi kali ini....

Kali ini saat aku mau tiduran di tempat biasa, tiba-tiba aku menginjak sesuatu yang sedikit tajam. Reflek aku langsung berteriak, saat melihat ke bawah ternyata sebuah permata kecil yang berkilau berwarna putih. Aku menggenggamnya karena aku ingin menyimpannya di rumah, dan tiba-tiba aku merasa badanku tersedot permata itu. Aku kaget dan semua badanku lenyap dihabisi permata itu dan aku langsung pingsan.


***

Aku membuka mata perlahan. Aku melihat diriku sudah dibalut selimut tebal. Tiba-tiba seseorang memasuki ruangan yang sekarang aku tempati, dia seorang perempuan yang sepertinya lebih tua dua tahun dariku karena tingginya dan dia berambut lurus sepunggung kurang sedikit. Saat melihatku sudah sadar dia tersenyum kecil.

"Sudah sadar ya?" tanyanya dingin. Aku sedikit takut dengan dia, dan aku hanya membalasnya dengan anggukan kecil.

"Ayo cepat bangun dan minum," katanya sambil menyodorkan segelas air minum padaku. Aku langsung bangun dan mengambil gelas itu dari tangannya. Lalu dia keluar dan memanggil seseorang yang kudengar, nama yang dia panggil adalah "Kiyomi".

Tiba-tiba orang yang berbeda masuk ke kamar yang kutempati sekarang. Dia perempuan yang menurutku seumuran denganku dan berambut ikal sedada. Dia tersenyum lebar kepadaku.

"Hai Harumi," tegurnya sambil duduk di kursi samping tempat tidur yang kutempati sekarang, "Kau Harumi Yamada kan?"

"I-iya..." jawabku. "Darimana kau mengetahui namaku?"

"Ooh, semua orang yang termasuk Hoseki dan sudah mencapai Qrite-3 pasti tahu nama semua orang tanpa harus bertanya," ujarnya. "Oh iya, namaku Kiyomi Ohayashi. Salam kenal, ya."

"Iya, salam kenal Kiyomi," kataku sambil tersenyum. "Eh, bolehkah aku bertanya, apa itu Hoseki dan Qrite-3?"

"Hoseki itu nama perkumpulan. Sedangkan Qrite-3 itu tingkatan di Hoseki," jawab Kiyomi.

"Hmm, aku masih belum mengerti. Bisa kau menjelaskanku lebih detail?" tanyaku. Kiyomi mengangguk.

"Hoseki adalah sebuah perkumpulan yang semua anggotanya memiliki ilmu sihir yang berbeda-beda. Lambang perkumpulan Hoseki adalah permata. Aku salah satu dari perkumpulan Hoseki itu, sihir yang kupunya adalah air. Setiap anggota Hoseki pasti di setiap bajunya ada gambar permata ini di bagian dada kirinya," jelasnya sambil menunjuk gambar permata berwarna putih bercampur biru yang berkilau. "Sedangkan Qrite adalah nama tingkatan di Hoseki. Anggota Hoseki pasti belajar, tingkatannya sampai Qrite-22. Sedangkan aku masih Qrite-7. Bagaimana? Mengerti, Harumi?"

"Iya, aku sudah lumayan mengerti," jawabku.

"Oh iya, kau ingin tahu kenapa kau bisa masuk dunia Hoseki?" tanyanya. "Karena kamu telah menemukan permata yang artinya adalah lambang Hoseki. Dan artinya kamu sudah terdaftar di Hoseki ini."

(To be continued)

Saturday, December 22, 2012

Chapter 4 (Toizu)

Aku membuka buku berjudul "Dunia Sihir" yang kutemukan di rak buku kamarku. Aku membuka halaman pertama, dan aku sedikit terkejut saat melihat gambar. Pada halaman pertama, terdapat gambar pintu gerbang kota Toizu. Aku tidak tahu bahwa ternyata Toizu itu terkenal, aku kira karena letak Toizu itu sangat jauh dari dunia yang lain, jadi kupikir Toizu tidak ada yang tahu. Kemudian aku membaca penjelasannya tentang kota Toizu. Oh ya, sebelumnya aku menemukan dunia penyihir yang lain yang letaknya kebanyakan dekat dengan Dunia Manusia dan Dunia Boneka.

Penjelasan tentang Pulau Toizu adalah:
Kategori = Dunia Penyihir
Nama = Kota Toizu
Letak = Dalam Pulau Lumina
Ciri Khas = Patung Helaj

Walaupun aku tinggal di kota Toizu, tapi aku sama sekali tidak tahu tentang Patung Helaj. Bahkan namanya pun baru kuketahui saat membaca buku ini. Aku kembali membaca tentang kota Toizu. Tapi, saat aku membaca tentang Dunia Penyihir, aku kaget dengan komentar-komentarnya. Ada yang bilang "Dunia Penyihir itu tidak penting", "Dunia Penyihir itu aneh", "Dunia Penyihir itu musuh kita, buat apa dijadikan sahabat?"
Aku hanya membaca 3 komentar karena komentar yang lain menurutku sudah sedikit berlebihan. Aku menyimpan buku "Dunia Sihir" di tasku dan langsung tidur. Karena aku tidak mau terkena marah Tasha atau ibunya dan berhubung sekarang sudah jam 2 pagi.

***

Aku kembali bangun jam 5 pagi. Aku sangat mengantuk dan masih ingin tidur, tapi karena hari ini hari Senin yang artinya, aku sekolah! Sebenarnya aku memang ingin tahu seperti apa itu sekolah, tapi aku juga ingin kembali membaca buku "Dunia Sihir", tapi aku juga ingin kembali tidur. Tapi, apakah diizinkan kalau aku membaca buku di sekolah? Ah, mungkin sekolah adalah tempat membaca buku! Jadi, pasti aku diizinkan untuk membaca buku sepuas-puasnya! Atau, tidur sepuas-puasnya! Wah, asyik!
Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarku. 

"Masuk!" seruku dari dalam.

Orang itu masuk ke kamarku, dan ternyata dia Tasha.

"Fia, kamu sudah mandi?" tanya Tasha.

"Belum..." kataku polos.

"Ayo Fia, mandi dulu! Nanti kita sarapan bersama ya.." ujar Tasha sambil tersenyum.

"Masalahnya Sha, aku tidak tahu pakaian yang akan kupakai untuk sekolah," kataku sambil nyengir.

"Ooh, karena kamu murid baru, kamu boleh kok memakai baju bebas. Mungkin besok sampai seterusnya kamu wajib memakai seragam kecuali hari Jumat," kata Tasha sambil menunjuk baju yang ada dalam lemari pakaian.

"Oke, terima kasih Tasha!" jawabku sambil mengambil baju yang ada dalam lemari pakaian dan segera mandi. Sedangkan Tasha turun ke bawah duluan.

Aku tidak suka di Dunia Manusia karena, tidak bisa mandi dengan hanya beberapa detik! Kita harus menyalakan shower dulu, atau menyalakan air keran sampai bathub sudah penuh dengan air, lalu mandi, belum ditambah menyabun. Itu bisa menghabiskan berapa menit atau satu jam!
Sedangkan di Dunia Sihir, aku hanya perlu mengayunkan tangan dan mengatakan dalam hati apa yang kumau, lalu yang kuminta langsung datang atau saat aku mau mandi, aku hanya mengayunkan tangan dan berkata dalam hati, lalu aku sudah rapi dan bersih. Tapi di Dunia Penyihir hanya lima detik atau kurang aku sudah rapi, wangi, dan bersih. Aku lebih suka Dunia Penyihir, dan aku rindu dengan kota Toizu.

Aku selesai mandi dan langsung sarapan bersama Tasha dan ibunya. Lalu aku dan Tasha diantar ibu Tasha ke sekolah. Mukaku berseri-seri, karena aku masih berpikir bahwa sekolah itu tempat membaca dan tidur! Aku juga sudah menyiapkan buku Dunia Sihir di tasku dan sudah menyiapkan mataku untuk tidur di sekolah nanti.

(To be continued)

Saturday, November 3, 2012

Chapter 3 (Toizu)

Aku bangun. Aku tetap bangun pagi seperti kebiasaanku di Toizu. Tapi, kali ini aku tak perlu untuk membangunkan semua orang. Aku hanya harus mengurus diriku sendiri. Lalu, aku mandi, makan bersama Tasha dan ibunya, dan bersantai di kamar Tasha, dan itu Tasha yang mengajakku.

Aku bercerita banyak hal kepada Tasha. Tapi bukan tentang Toizu, tapi tentang kenapa aku bisa tersasar. Aku hanya bisa berbohong, haha. Aku sangat senang bercerita dengan Tasha, bermain dengan Tasha, bersantai dengan Tasha, dan lain-lain yang kami lakukan di kamarnya. Lalu aku kembali ke kamarku dan bersantai.

Dan aku perlu berkata, "AKU SENANG DI SINI!". Hm, maksudnya, aku senang dengan suasana di dunia manusia ini. Kuyakin, aku pasti betah di sini dan akan lama untuk tinggal di sini atau di dunia manusia. Atau mungkin, selamanya? untuk tinggal di dunia manusia ini? kita lihat saja nanti.

Di kamar, aku membuka lemari dan laci yang ada di lemari itu, dan laci meja belajar. Terdapat berbagai macam baju dari lemari dan lacinya, dan terdapat berbagai macam mainan dari laci meja belajar. Aku membongkar semuanya, dan aku mencoba satu-satu semua bajunya. Aku juga memainkan semua mainannya. Saat aku sudah puas untuk melakukan semua itu, aku mengembalikan mainan dan baju itu ke tempatnya yang semula. Dan pastinya aku menggunakan sihir!

Saat aku mau memindahkan mainan yang satu lagi dengan sihir, Tasha masuk ke kamarku, dan bertepatan dengan masuknya mainan itu ke tempatnya. Kukira Tasha tau bahwa aku penyihir karena mainan itu yang melayang, tapi untungnya tidak. Lalu Tasha berkata kepadaku.

"Hey Fia, kan hari sudah sore, bagaimana kalau kau ikut minum teh bersama kami?" ajaknya sambil menghampiriku dengan mengulumkan senyumnya.

"Teh?" tanyaku bingung. Aku benar-benar tidak tahu teh.

"Kau tidak tahu teh, Fia?" Tasha balik bertanya dengan mengerutkan dahinya.

"Aku hanya lupa, Tasha. Bisakah beri penjelasan sedikit kepadaku? Agar aku ingat kembali," jawabku sopan tapi berbohong.

"Teh itu air biasa yang biasanya berwarna cokelat - merah karena dari celupannya. Kalau gak salah seperti itu. Kau mengerti kan Fia?" tanya Tasha kepadaku. Aku mulai ingat tentang teh, ternyata teh itu seperti treen (nama teh di Toizu). Sama persis, hanya nama yang berbeda.

"Aku mengerti dan aku sudah ingat tentang tre, eh maksudku teh, Tasha. Terima kasih!" kataku.

"Oke! Ayo ikut denganku, Fia!" ajak Tasha senang sambil menarik tanganku.

Aku minum teh bersama Tasha dan ibunya. Jujur saja, hari ini aku sangat senang! Sepertinya, besok aku akan lebih senang lagi karena besok aku akan memulai hari pertamaku untuk sekolah bersama Tasha tentunya.

Setelah minum teh aku kembali ke kamar. Aku merapikan kamarku, tapi tidak memakai sihir. Dengan tenagaku sendiri. Dan, aku selesai merapikan pada jam tujuh malam. Aku sudah tidak kuat untuk melanjutkan lagi, sebenarnya sudah selesai, hanya saja ada bagian yang belum kurapikan. Jadi sepertinya belum selesai(?) dan aku mandi, tapi mandi di sini tidak seenak di Toizu. Tapi, aku akan coba untuk menikmatinya.

Selesai mandi aku diajak Tasha untuk makan malam. Tapi, aku menolaknya karena saat minum teh aku sudah menyusahkan Tasha dan ibunya dan aku juga tidak lapar. Dan aku lebih memilih untuk baca buku. Aku melihat lemari buku dan mengambil buku tentang "Dunia Sihir" yang kebetulan ada dalam lemari itu. Aku membuka halaman pertama, dengan hanya melihat gambar halaman pertama, aku sedikit terkejut.

(To be continued)

Wednesday, October 17, 2012

Chapter 2 (Toizu)

BUK!

Aku pusing sekali, dan kucoba untuk berdiri. Aku tidak tahu di mana aku sekarang, dan apa aku benar-benar sudah di dunia manusia atau belum. Saat kucoba berdiri, aku kembali jatuh. Dan tiba-tiba ada uluran tangan, aku mendongakkan kepala dan dia adalah MANUSIA. Dan dia anak perempuan yang sangat cantik.

"Sini aku bantu," ujar perempuan itu dengan lembut, "Kau pusing kan?"

"I, iya," aku membalas uluran tangannya. "Terima kasih."

Aku masih canggung untuk berbicara pada manusia. Lalu aku berdiri dan dia memegangku karena takut aku kembali jatuh.

"Oh ya, aku Tasha. Kalau boleh tau, siapa namamu?" kata perempuan itu atau Tasha dengan senyumnya yang manis.

"Oh, aku Lifia. Tapi panggil saja aku Fia," kataku sambil membalas senyumnya.

"Ooh, Fia... hey, aku baru melihatmu. Kamu baru ya di kota ini?" tanya Tasha.

"Aku dari Toi, eh, maksudku aku memang dari kota yang lain. Aku pindah ke sini karena aku tersasar," jawabku berbohong.

"Wah, tersasar? Dan kau punya tempat tinggal, Fia?" tanya Tasha lagi.

"Tidak."

"Kalau begitu kau tinggal bersamaku saja Fia!" seru Tasha.

Aku sedikit kaget saat Tasha menawarkanku untuk tinggal di rumahnya. Tapi, lebih baik aku menerimanya. Karena, aku tidak mungkin tidur di pinggir jalan atau tempat yang lebih buruk lagi. Tapi, apa tidak merepotkan?

"Aku mau Sha. Tapi, apa nggak merepotkan?" tanyaku.

"Ah nggak, aku hanya tinggal dengan ibuku. Kami berdua kesepian, kami butuh seorang teman. Kupikir kamu bisa menemaniku di rumah, Fia," jawab Tasha.

"Kalau boleh, tentu saja aku mau," jawabku senang. Tasha tersenyum dan mengajakku untuk ke rumahnya.

Saat aku sampai di rumahnya, aku sedikit aneh dengan rumah ini. Karena, beda sekali dengan rumahku di Toizu atau dunia penyihir. Aku diajak masuk oleh Tasha, dan aku bertemu dengan ibunya. Tasha menjelaskan semuanya tentangku. Dan ibunya mau menerimaku untuk tinggal di rumah Tasha. Dalam hati aku senang karena bertemu teman baru dan langsung mendapat tempat tinggal yang baru. Aku ditunjukkan oleh Tasha kamarku. Bagus banget, dan kuyakin aku bakal betah tinggal di sini.

Hari sudah malam. Kata Tasha, lusa atau hari Senin nanti aku akan memulai sekolah. Aku ingin tau seperti apa itu sekolah? Di dunia penyihir, tidak ada yang namanya sekolah. Aku hanya menjawabnya, tapi sebenarnya dalam hati aku bertanya-tanya apa itu sekolah. Lalu aku tidur. Kuharap hari Senin nanti saat aku ke sekolah aku langsung mengerti apa itu sekolah. Mungkin saja... ya sudah, selamat tidur! Oyasumi~

(to be continued)

Tuesday, October 16, 2012

Chapter 1 (Toizu)

Hai, aku Lifia. Aku seorang penyihir. Aku bisa dibilang penyihir yang pendiam. Aku penyihir yang tinggal di lingkungan manusia. Ada alasan kenapa aku tinggal di lingkungan manusia, bukan tempat penyihir yang ada di luar bumi. Aku mencari keluargaku yang menghilang.  Kata temanku di Toizu, atau nama tempat tinggal penyihir, anggota keluargaku sudah meninggal, dan yang utuh hanya aku seorang. Aku orang yang susah untuk percaya, karena itu aku ke tempat manusia dan belajar di sana sambil menyelidiki tentang keluargaku. Aku mau sedikit bercerita tentang inginnya aku pergi ke bumi.

Ke Bumi
Hari ini aku kembali bangun terlalu pagi seperti biasanya. Aku mengayunkan tangan dan barang-barang atau sampah yang berserakan di lantai kembali ke tempatnya. Lalu aku kembali mengayunkan tangan dan tempat tidur sudah rapi. Lalu aku ke kamar mandi dan mengayunkan tangan, ember yang isinya penuh dengan air langsung menyiramku. Hanya dengan mengeluarkan sihir dari tanganku, aku sudah bersih, wangi, dan rapi. Aku mengambil roti dan memakannya. Setelah itu aku terbang ke luar rumah. Inilah kebiasaanku di Toizu, dan kebiasaan rutin aku yang lain adalah membangunkan penyihir-penyihir yang lain.

Agar tidak capek menghampiri satu-satu rumah penyihir, biasanya aku membunyikan lonceng khusus buatanku untuk membangunkan penyihir yang lain. Dan jika ada yang tidak mau bangun, partikel-partikel dari lonceng itu akan ke rumahnya dan membangunkannya dengan membunyikan lonceng kecil dan akan berhenti sampai penyihir itu bangun. Aku membunyikan lonceng, dan aku menunggu penyihir-penyihir itu sampai keluar dari rumahnya.

Tugas selesai. Aku kembali masuk ke rumah dan melintasi surat dari teman penyihirku yang bernama Ena. Aku jadi teringat isi surat itu, Ena menjelaskan tentang keluargaku. Mereka sudah meninggal, dan aku yang masih utuh. Aku tidak tahu apakah aku punya adik atau kakak atau aku anak tunggal. Itu masih menjadi pertanyaan yang besar.

Tiba-tiba terlintas ide di pikiranku. Aku akan menyelidiki dunia manusia, mungkin saja anggota keluargaku ada yang di sana. Aku tidak percaya dengan perkataan Ena, jadi aku sudah menyusun kapan aku pergi dan sampai kapan aku akan di dunia manusia. Aku memberitahukan niatku ini ke semua penyihir lewat laci yang bisa mengirim ke mana saja. Mereka semua syok dengan ideku itu, aku dengan santai membalas surat mereka satu per satu dan menjelaskan lebih detail kenapa aku ingin ke dunia manusia.

Ena membalas suratku, dia bilang "kau benar-benar ingin ke dunia manusia? Mitos, katanya ada seorang penyihir laki-laki yang mencoba pergi ke dunia manusia. Dia bilang dia hanya 2 hari di sana. Tapi, sudah 2 hari berlalu, sampai sudah bertahun tahun, penyihir itu belum kembali juga. Dan para penyihir berpikir penyihir laki-laki itu meninggal di dunia manusia karena disiksa dan manusia itu makhluk yang jahat. Jadi, kusarankan lebih baik kau tidak ke dunia manusia, Fia."

Walaupun sudah dibujuk berapa kali, aku tetap pergi ke dunia manusia. Karena sudah tidak ada lagi yang bisa membujukku, akhirnya aku benar-benar pergi. Mereka hanya berpesan untuk hati-hati. Kuyakin, mitos itu hanya bohongan. Mungkin memang ada yang ke dunia manusia, tapi dia tidak mati. Mungkin dia akan terus tinggal di dunia manusia, tapi aku tidak tahu. Aku turun dari tanah Toizu untuk masuk ke bumi. Dan aku merasakan gravitasi yang begitu kuat, sampai-sampai aku tidak sadarkan diri. Kupikir inilah akhir hidupku. Mungkin mitos itu benar. Rasanya seperti tubuhku terkena api yang tidak berhenti untuk menyiksaku.

BUK!

(to be continued)